Salah satu yang khas dari peringatan Hari Raya Idul Fitri di Indonesia adalah mudik ke kampung halaman. Mereka dapat melihat kembali suasana rumah orangtua tempat kelahiran mereka, bisa berziarah ke makam orangtua, dan tentu tidak lupa menengok keluarga, sahabat, dan handai tolan di kampung halaman.
Fenomena mudik tentu memiliki sejumlah makna bagi masyarakat Indonesia. Bahkan fenomena mudik ini sudah menjadi kebudayaan bangsa Indonesia. Tidak bisa fenomena ini hanya ditinjau dari aspek kemacetan, kecelakaan, dan konsumerisme, tetapi perlu dilihat secara lebih lengkap. Di dalamnya terkait juga dengan masalah sosial, ekonomi, agama, dan politik. Fenomena mudik menyita perhatian pemerintah untuk mengatur lalu lintas darat, udara, dan laut dengan berbagai jenis sarana dan prasarana transportasinya.
Sesungguhnya yang perlu mudik dalam suasana lebaran itu bukan hanya badan lahiriah saja, melainkan juga rohani dan spiritual setiap orang yang yang merayakan Hari Raya Idul Fitri. Idul Fitri, secara literal berarti kembali berbuka, seperti kembali makan dan minum setelah sebulan penuh terlarang di siang hari Ramadhan. Kita kembali dapat melakukan aktivitas biasa seperti sebelum Ramadhan tiba. Ada juga pengertian lain dari Idul Fitri yaitu kembali ke fitrah, artinya kembali kepada kesucian diri setelah sebulan melewati ibadah Ramadhan sebulan penuh. Mudik ke kampung halaman rohani, maksudanya adalah kembali ke jati diri yang baik setelah digodok dan ditempa sebulan penuh oleh Ramadhan. Diharapkan setelah sebulan amaliah Ramadhan, kita dapat meraih ridha Allah SWT, kita dapat memperoleh suasana bahagia di dunia dan di akhirat kelak.
Manusia kota cenderung lebih konsentrasi terhadap pekerjaan-pekerjaan mereka. Hal tersebut menimbulkan anonimitas. Logika industrialisasi menambah watak individualisme. Dua hal ini oleh sebagian kritikus menyebut kaum kota sebagai sosok yang kering kerontang. Mudik menjadi semacam obat bagi kekeringan tersebut. Kembali kepada desa kembali kepada alam, akan meberikan siraman-siraman rohani untuk menyuburkan kegersangan tersebut. Mudik diyakini dapat memberikan banyak manfaat positif bagi yang melakukannya selain daripada untuk tujuan menyambung silaturrahmi atau merayakan lebaran.
Secara sosial, mudik pada awalnya bukan berarti pulang kampung dari perantauan. Menurut JJ Rizal, sejarawan dan budayawan Betawi, kata mudik berasal dari sejarah urban di Jakarta yaitu ‘udik’. Kota Jakarta yang awalnya ada di dekat wilayah Barat dan Utara, maka orang-orang yang kawasan rumah atau kampungnya berada di luar daerah tersebut disebut sebagai orang udik. Orang udik diartikan sebagai orang yang tinggal di sebelah Selatan yang jauh dari pusat kota. Istilah mudik dahulu digunakan untuk kaum urban yang sudah tak sanggup bahkan menyerah tinggal di Kota Jakarta. Namun seiring berjalannya waktu, makna mudik pun meluas hingga banyak yang mengartikan mudik ini untuk istilah pulang ke kampung halaman. Sehingga mudik bisa dibilang akarnya dari sejarah urban Jakarta, tetapi sekarang mudik sudah jadi istilah umum dan perginya bukan ke Selatan saja, bahkan hingga ke berbagai wilayah di luar Jakarta.
Selain itu dalam bahasa Jawa ada juga yang menyebut bahwa mudik itu sebagai singkatan dari ‘mulih disik’. Ada juga yang menafsirkan makna mudik itu berasal dari bahasa Arab “al-aud” yang bermakna kembali. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mudik memiliki arti pulang ke kampung halaman. Umar Kayam (2002) menyebut mudik sebagai tradisi yang terkait dengan kebiasaan petani Jawa mengunjungi kampung kelahiran untuk berziarah ke makam para pendahulunya.
Ada yang menyatakan manusia merupakan makhluk yang tergolong sebagai homo festivus, yakni manusia itu menyukai festival. Banyak macam dan ragam mengenai festival, salah satunya adalah festival yang bernuansa kegamaan, seperti perayaan lebaran. Dalam festival, terkandung sebuah pola yang ajeg dan dilakukan berulang-ulang secara massif pada momen tertentu. Manusia juga disebut sebagai makluk yang menyukai ziarah. Manusia senang melakukan sebuah perjalanan, ketika ketemu waktu liburan maka seringnya digunakan untuk jalan-jalan atau berekreasi.
Harus diakui, yang memiliki kepentingan dengan mudik itu bukan hanya mereka yang berada di perantauan untuk kembali ke kampung halaman. Tetapi juga keluarga yang berada di daerah asal yang juga kerap menunggu mudiknya anggota keluarga mereka dari perantauan. Sehingga bukan hanya mobilitas sosial (social mobility) saja, tetapi juga ada keniscayaan ekonomi (economic necessity). Praktik mudik tidak hanya menunjuk pada masih kuatnya dinamika dan sekaligus status diaspora komunitas lintas batas geografis, tetapi juga merujuk pada kebutuhan untuk mempertunjukkan masa depan kesejahteraan. Semuanya dalam satu tarikan napas untuk mempersembahkan kuasa sosial yang diraih.
Pertautan sosial ekonomi antara pemudik dan keluarga di kampung halaman menjadi latar belakang yang masih kuat. Walaupun pelaksanaan mudik sangat singkat, tetapi kepentingan ekonomi di balik ritual sosial ini sangat besar. Perputaran ekonomi selama mudik lebaran itu besar sekali. Tercatat, seperti yang menjadi temuan investigasi Dompet Dhuafa (lihat Purwakananta Dkk, Ekonomi Mudik: 2011), dalam sekali ritual mudik (2010), perputaran uang mencapai hingga Rp 84,9 triliun. Perinciannya, 56 persen dari total dana yang berputar tersebut bergerak dalam pembelanjaan dana pada praktik yang mengiringi tradisi mudik. Mulai pemenuhan biaya akomodasi hingga rekreasi. Termasuk juga untuk pengeluaran ritual sedekah dan zakat oleh pemudik di kampung asalnya. Adapun 44 persen sisanya dilaporkan berkaitan dengan pembelanjaan untuk kebutuhan transportasi, konsumsi selama perjalanan, sampai pengadaan buah tangan untuk keluarga besar di kampung asalnya.
Dalam catatan Dompet Dhuafa tersebut, lebih dari separo pemudik mengeluarkan dana untuk kepentingan diri sendiri di kampung asalnya. Untuk pembayaran zakat, misalnya, jumlah akumulatif besaran zakat pemudik di kampung halamannya tidak kurang dari Rp 7,35 triliun. Bahkan, dalam temuan Dompet Dhuafa, terdapat pula transaksi ekonomi antara pemudik dan warga di kampung halamannya melalui pembelian hasil kerajinan UKM sebagai oleh-oleh balik ke kota. Karena itu mudik lebaran juga menjadi pola konsumsi masyarakat kota di kampung asal.
Yang terakhir mudik juga bisa berdampak juga pada kepentingan politik. Presiden atau calon presiden yang tidak mampu mengatasi problem-problem mudik bisa saja dikritik sebagai pemimpin yang tidak peduli pada rakyatnya. Urusannya bisa panjang dan sudah pasti berdampak pada pemilu berikutnya. Jadi dalam mudik itu, karena sifatnya yang massal, semua kepentingan saling berkelindan.