Menyembuhkan “Penyakit Kronis” di Tubuh Polri

Spread the love

Menyembuhkan “Penyakit Kronis” di Tubuh Polri

Oleh Rivai Hutapea

Tanggal 1 November 2022, tepat satu bulan peristiwa Kanjuruhan terjadi.  Namun, kesedihan akibat tragedi yang menyayat-nyayat hati tersebut, terus berlanjut. Adalah Farzah Dwi Kurniawan, salah seorang korban yang usai kejadian dilarikan ke Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang untuk mendapatkan perawatan intensif. Ia sempat bertahan beberapa pekan. Namun, takdir ternyata berkata lain. Mahasiswa Universitas Malang (UMM) itu harus menghembuskan napas terakhirnya pada hari Ahad tanggal  23 Oktober 2022, menyusul 134 korban lainnya. “Yang mati dan cacat serta sekarang kritis, dipastikan itu terjadi karena desak-desakan setelah ada gas air mata yang ditembakkan Polisi, itu penyebabnya,” ujar Ketua TGIPF Mahfud MD. Tragis, memang.

Tragedi ini menambah coreng moreng wajah institusi kepolisian. Betapa tidak, sebelum kasus ini “meledak”, wajah kepolisian telah terlebih dahulu tercoreng akibat kasus pembunuhan sadis Brigadir Yosua di rumah dinas Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. Akibat kasus ini, tak hanya dicopot dari  Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo juga dipecat dari kepolisian. Sambo dan empat tersangka lainnya, yaitu Putri Candrawathi, Bharada E, Ricky Rizal atau Bripka RR, dan Kuat Ma’ruf dijerat pasal Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman pidana maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama-lamanya 20 tahun. Belum lagi tuntas kasus Kanjuruhan, wajah kepolisian kembali “tertampar” dengan kasus narkoba yang menyeret-nyeret nama Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa. Teddy disebut-disebut sebagai master mind pengendali dalam peredaran narkoba. Sekitar 5 kilogram sabu menjadi barang bukti yang digelapkan.

Hattrick kasus ini tak ayal membuat reputasi kepolisian di mata publik, terjungkal balik. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada polisi yang awalnya tinggi, bahkan sangat tinggi, seketika, anjlok. Bahkan, kepercayaan publik kepada polisi saat ini, berada di titik nadir. Karenanya, tidak berlebihan bila dikatakan Polri berada dalam kondisi mengkhawatikan alias SOS. Sontak saja, banyak pihak bersuara lantang dan mendesak agar Polri segera berbenah diri. Sebagian mengusulkan agar Polri mengubah sistem pengawasan, baik internal maupun eksternal di lingkungannya. Yang lainnya mengusulkan agar Kapolri menggandeng tokoh masyarakat. Ada juga yang mewanti-wanti agar oknum Polri melepaskan diri dari bisnis haram narkoba, judi dan suap.

Sah-sah saja pembenahan dilakukan, bahkan “hukum”nya sudah jatuh “wajib”. Pertanyaannya adalah apakah dengan pembenahan tersebut, polisi atau oknum polisi dijamin tidak lagi melanggar hukum dan bertindak sewenang-wenang? Dengan mengubah sistem pengawasan internal, apakah yakin “syahwat” polisi tidak tergiur nyemplung ke bisnis haram narkoba, judi, korupsi, suap dan gaya hedonis? Dengan kata lain, apakah semua pembenahan di atas tepat sasaran, menyentuh akar persoalan yang melilit Polri belakangan ini sehingga citra Polri dapat kembali pulih?

Boleh jadi penulis salah. Tapi, bukan pula pesimis, apalagi skeptis. Usulan pembenahan polisi selama ini, masih terkesan lip service.  Tambal sulam. Menutup yang satu, tapi “bocor” di tempat lainnya. Jika hal ini yang terjadi, maka Polri akan terus menerus terlilit persoalan. Kasus Polisi yang melanggar hukum, tindakan sewenang-wenang dan lainnya, akan terus terjadi dan silih berganti.  Lantas, kapan reformasi dan perbaikan Polri akan terwujud. Pembenahan Polri bak menyabet golok di udara. Mubazir dan sia-sia belaka.

Hal ini terjadi dikarenakan pembenahan di tubuh Polri belum menyentuh ke akar persoalannya.  Karena itu, penulis kok tidak yakin reformasi total yang digembar-gemborkan tersebut, benar-benar menjadi problem solver yang jitu mengatasi problem akut yang terjadi di tubuh Polri saat ini. Bila pembenahan Polri hanya berhenti pada mengubah sistem pengawasan internal, belumlah cukup kuat untuk mereinkarnasi watak “sangar” kepolisian menjadi “santun dan beradab”.

Bagaimana solusinya? Pertanyaan ini patut untuk dijawab sebagai bagian dari pembenahan dan kecintaan kita kepada Polri. Diakui atau tidak, Polri merupakan institusi negara yang kita butuhkan bagi keberlangsungan negeri ini ke depan. Menurut penulis, selain reformasi internal sebagaimana disebutkan di atas, pembenahan Polri wajib menyentuh akar rumput persoalannya, yaitu soal posisi dan kewenangannya di pemerintahan.

Sebagaimana mafhum, pada masa Orde Baru, TNI dan Polri terintegrasi di Angkatan Bersenjata Indonesia (ABRI). Saat itu, posisi Polri setara dengan tiga angkatan lainnya, yaitu angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara. Di samping ABRI ada juga Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) yang biasanya dijabat oleh tentara. Kondisinya berubah pasca reformasi di mana Polri dipisahkan dari TNI, bahkan Dephankam diubah menjadi Departemen Pertahanan, belakangan berubah menjadi Kementerian Pertahanan, yang bertugas melakukan fungsi koordinasi dengan TNI saja.

Sejak saat itu, Polri berubah menjadi institusi mandiri nan jumawa. Berbagai peraturan perundangan turut andil melegitimasi, sekaligus memberikan karpet merah kewenangan besar Polri. Pasal 30 ayat 4 UUD NKRI 1945 menempatkan Polri sebagai alat negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, mengayomi, melayani masyarakat dan menegakkan hukum. Bahkan, secara eksplisit, Pasal 8 UU Nomor 2 tahun 2002 menyebutkan kepolisian dipimpin oleh Kapolri dan berada langsung di bawah Presiden. Hal ini sejalan dengan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 yang menyebutkan  bahwa Polri merupakan alat negara yang berfungsi mewujudkan keamanan dalam negeri dan berada langsung di bawah Presiden.

Penulis menilai pemberian kewenangan dan legal standing yang super jumbo  kepada Polri inilah yang menjadi salah satu akar kalau tidak mau disebut “biang kerok” munculnya berbagai “penyakit kronis” yang menggerogoti tubuh Polri belakangan ini. Kewenangan yang besar, terlebih lagi lost pengawasan menjadi pemicu timbulnya abuse of power  atau penyalahgunaan wewenang yang berlebihan. Karenanya, mustahil berharap adanya perubahan watak Polri bila hanya melakukan pembenahan secara internal tanpa membenahi posisi dan kewenangan Polri yang “mubazir” alias berlebihan tersebut.

Jadi, bila kita benar-benar mencintai Polri dan agar Polri terbebas dari berbagai “penyakit kronis” yang bersarang di tubuhnya, maka harus ada keberanian lebih dari pemangku kekuasaan untuk menyegarkan kembali kewenangan dan posisi Polri di pemerintahan agar kembali lebih wajar. Para pembuat kebijakan dan undang-undang, harus berani merevisi UUD,  TAP MPR, UU dan Peraturan Presiden dengan menempatkan posisi Polri pada tempatnya yang pas dan pemberian kewenangan yang proporsional, tidak seperti saat ini yang terlalu jumawa. UUD, TAP MPR, UU bukanlah kitab suci yang tak bisa diubah. UUD, TAP MPR, UU merupakan peraturan yang luwes dan dinamis mengikuti perkembangan dan dinamika yang terjadi di masyarakat. Tanpa ada nyali mengubah posisi Polri di pemerintahan dan merevisi pemberian kewenangan yang “surplus”,  maka sulit berharap Polri akan berubah. Citra Polri yang tergerus dengan berbagai kasus yang menyeret-nyeret Polri belakangan ini, akan semakin terpuruk. 

Jujur saja, negeri ini masih memerlukan Polri. Namun, Polri yang taat pada aturan hukum, yang memberikan teladan kebaikan, yang tidak kompromi pada kemunkaran dan ketidakadilan. Dan sekali lagi, hal itu akan terwujud bila kewenangan yang diberikan kepada Polri, proporsional dan otomatis posisi Polri di pemerintah mesti direvisi, tidak lagi langsung di bawah presiden. Wallahu’alam.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *