PKS Jaksel : Golput Tinggi Masih Menjadi PR di Pilkada Serentak 2020

Spread the love

*) Oleh Bang Agung, Bapilu PKS Jaksel

Ancaman golput masih menjadi PR pada penyelenggaraan Pilkada 2020 kemarin. Oleh karenanya, KPU/KPUD harus lebih serius melakukan sosialisasi dan edukasi pelaksanaan Pilkada kedepannya. Pilkada Walikota Medan angka golput mencapai 54,22 persen, KPU Surabaya melaporkan partisipasi masyarakat datang ke TPS hanya 50 hingga 60 persen, pilkada Kota Denpasar angka golput capai 46 persen dan masih banyak lagi.

Setidaknya ada dua hal yang kurang digencarkan oleh KPU / KPUD ke pemilih saat itu. Pertama, meyakinkan bahwa tempat pemungutan suara (TPS) aman meski Pilkada digelar di situasi pandemi. KPU memastikan bahwa penyelenggaraan pemungutan suara di TPS sudah mengadaptasi protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19. Untuk itu, jika pemilih datang ke TPS dan mematuhi protokol, kemungkinan besar aman dari virus. Kedua, KPU / KPUD harus terus mengingatkan bahwa Pilkada merupakan hajat masyarakat. Jika masyarakat memilih golput, hilang kesempatan untuk menentukan calon pemimpin daerahnya. Jadi kata kuncinya memang edukasi yang harus terus dilakukan.

Bagi pemerintah dan penyelenggara pilkada, golput juga harus dilihat sebagai pendidikan politik bagi masyarakat. Tujuannya untuk membuat orang berpikir kritis. Penguasa tidak berhak memaksakan rakyat untuk menggunakan hak suaranya. Pendirian yang berlainan dengan pendirian penguasa harus dilindungi supaya tradisi berdemokrasi yang sehat senantiasa terpelihara. Golput bisa terus menipis, jika sikap pemerintah yang bisa menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Partisipasi politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pilkada). Semakin tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan. Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan putih (golput) dalam pemilu. Selanjutnya secara eksplisit, Huntington dan Nelson membedakan partisipasi politik kedalam dua karakter, yaitu: partisipasi yang demokratis dan potonom adalah bentuk partisipasi politik yang sukarela, kedua yaitu partisipasi yang dimanipulasi, diarahkan, dan disponsori oleh Pemerintah adalah bentuk partisipasi yang dimobilisasi.

Menurut Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhani potensi golput sudah dapat dilihat dari penolakan sejumlah organisasi masyarakat. Misalnya, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang mendesak penundaan kontestasi sampai masa darurat kesehatan terlampaui.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *