“Telaga Kemuliaan Itu Bernama Pamijahan” Sebuah Testimoni KEMBARA

Spread the love

Ada gemuruh. Sorak sekaligus takzim setiap seruan jihad berlabuh di hati para sahabat. Mungkin inilah salah satu keutamaan hati yang selalu basah oleh zikrullah. Tak ada kerumitan melangkah, laku dan niat selaras, sungguh sebuah budi yang indah.

Basis kalkulasi para sahabat jelas dan cermat. Berbekal jiwa dan harta, mereka berniaga dengan Allah Swt. Perbekalan yang sejatinya berstatus titipan. Target buruannya pun gamblang. Nyaris tak ada pertimbangan-pertimbangan keduniawian. Misal, predikat yang terhebat atau menjadi selebriti, idola di kabilahnya. Tidak !, mereka tidak mengejar itu semua.

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” (QS. At-Taubah Ayat 20)

Maka pada diri Jundub bin Janadah atau yang lebih dikenal dengan Abu Dzar al Ghifari ra kita bisa berkaca, mematut diri. Salah satu assabiqunal awwalun yang berasal dari Suku Ghifar, bermukim di lembah Waddan,daerah strategis antara  Mekah dan Syam dimana para kabilah dagang besar  kerap melintasinya.

Adalah Tabuk, sepotong sejarah yang menceritakan bagaimana ikhtiar  sahabat Abu Dzar al Ghifari ra, mengharap ridha Allah Swt dengan menyusul rombongan perang yang dipimpin langsung oleh Rasululah Saw. “Biarkanlah! Andaikan ia berguna, tentu akan disusulkan oleh Allah kepada kalian. Dan jika tidak, Allah telah membebaskan kalian dari dirinya”. Rasulullah Saw dan rombongan kemudian melanjutkan kembali perjalanan setelah mendapatkan laporan.

Madinah dan sekitarnya, saat itu tengah dilanda musim panas nan hebat. Jarak tempuh menuju lokasi penghadangan tentara Romawi pun tidak dekat. Dalam perjalanan, seekor unta terpaksa harus dikendarai oleh lima sampai sepuluh orang sahabat bergantian.

Bahkan beberapa tidak bisa berjalan dan mati seperti apa yang Abu Dzar ra alami. Ia harus berjalan kaki dengan membawa perbekalannya sendiri setelah keledainya mati. Kesusahan dalam berbagai bentuk saat itu mengepung. Karenanya, perang Tabuk disebut juga dengan sebagai Jaysyul-‘Usrah, pasukan kesulitan.

_“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada Abu Dzar, ia berjalan sendirian, ia meninggal sendirian, dan ia akan dibangkitkan sendirian.”_

*****

Jumat (4/5) malam, kami berdua bergegas. Meninggalkan wajah-wajah jalanan. Beban hidup yang terekam nampak jelas terlihat dalam setiap gurat. Memeras keringat, membanting tulang. Scoopy melaju kencang, sesekali menghindari genangan dan jalan yang berlobang.

Melewati Dramaga, wajah-wajah itu masih mengikuti. Mereka seolah membisikkan syair yang beradu dengan suara knalpot kendaraan. _“Telah lenyap dalam diri manusia semangat perjuangan. Yang ada hanya mengejar pekerjaan dan penghidupan”_. Aku pun meradang.

Ada kekecewaan setelah negara tak mampu memberikan jawaban. Kepada para juta-an petani yang lahannya sudah beralih tangan. Kepada para buruh yang kerongkongannya kering, menagih upah  layak sebulan. Kepada para nelayan yang terpinggirkan oleh kapal-kapal penangkap ikan besar, milik para konglo multi-nasional. Di Pamijahan, di kaki gunung Salak, tak sabar kami mengabarkan itu semua kepada  orang-orang yang, menurut Eiji Yoshikawa dalam Musashi, tulus menghargai hidup dengan penuh kecintaan. Mereka mendekapnya sebagai permata yang berharga. Dan mereka memilih tempat dan waktu untuk menyerahkannya. Mati dengan penuh kemuliaan. Orang-orang itu disatukan dalam *Kembara* (Kemah Bakti Nusantara), arena untuk melatih, mengeluarkan setiap potensi terbaik yang dimiliki untuk mengingat tujuan penciptannya, kepatuhan dan kesungguhan mendapatkan ridha Allah Swt.

Kesungguhan untuk mendapatkan keridhaan Allah Sawt layaknya Abu Dzar al Ghifari ra yang seketika wajah lelahnya berganti ceria tatkala mendapati Rasulullah Saw di kemahnya seraya baginda mulia berdoa, _”Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Dzar”_.

Dan pada konteks yang berbeda, keceriaan itu didapati di Pamijahan, di Masjid Ibnu Sina, Masjid yang sudah ada sejak zaman Belanda. _“Kita sama-sama berjuang menegakkan Islam”_, ucap Kiayi Saifuddin, Ketua DKM Ibu Sina selepas zikir shubuh paripurna, _“Di mana pun kita berada”_, lanjutnya.

Maka, seperti Imam an-Nawawi sampaikan dalam kitab Riyadus Shalihin, _“bersegera dalam melakukan kebaikan, dan dorongan bagi orang-orang yang ingin berbuat baik agar segera melakukannya dengan penuh kesungguhan tanpa ragu sedikitpun”_.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *